Minggu, 02 September 2012

YURISDIKSI MATERI- Mahkamah Pidana International

   Kejahatan pelanggaran HAM berat sering disebut sebagai kejahatan paling berat yang menimbulkan keprihatinan internasional dan merupakan kejahatan luar biasa. Untuk itu, Penanggulangannyapun memerlukan tindakan tindakan yang luar biasa dan Asimetrik, bahkan kadang kadang memerlukan penyimpangan dan asas asas hukum yang bersifat umum, seperti tidak berlakunya ketentuan tentang kadaluwarsa. Keberadaan pengadilan HAM internasional yang dapat melakukan penegakan hukum langsung atas dasar prinsip Komplementaritas.
   Dalam hal tersebut berlakunya di Indonesia atas dasar UU No 26 tahun 2000, juga mengandung beberapa keistimewaan, seperti keberadaan penyelidik, penyidik, Penuntut Umum dan Hakim yang bersifat ad hoc.
  Kedudukan Komnas HAM sebagai penyelidik yang memiliki subpuena power. Demikian pengaturan tanggung jawab Komandan yang memidana Crymes by Omission, perlindungan Korban dan Saksi, pemberlakuan secara retroaktif terhadap peristiwa yang bersifat ad hoc. Pengaturan pidana yang minimum khusus tidak berlakunya kewenangan Atasan yang berhak menghukum dan Perwira penyerah perkara dalam peradilan Militer, tidak berlakunya ketentuan kadaluwarsa dalam menuntut dan sebagainya.
   Di Indonesia eksitensi yuridis empat dari dua jenis kejahatan ini benar benar menarik untuk dibahas, karena sejak bergulirnya gerakan reformasi yang menyertai runtuhnya Orde Baru yang dipandang Otoriter dan tidak Demokratis, telah digelar pengadilan HAM atas dasar UU NO 26 tahun 2000. Dengan pertimbangan Political Wisdom, Pengadilan HAM yang bisa berlaku retroaktif  tersebut telah mengadopsi dua macam kejahatan sebagai Yurisdiksi Materi dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang perumusannya bersumberdari Statuta Roma tahun 1998 yang uniknya belum di ratifikasi oleh Indonesia yang terjadi sebenarnya adalah Partial harmonization.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar